Sang waktu terus berjalan dan berubah
dan tidak ada sesuatu yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri.
Perubahan itu terjadi dengan sendirinya karena dimakan usia seperti umur suatu
benda yang lama kelamaan terus berubah tanpa harus ada campur tangan manusia.
Namun perubahan perilaku manusia memerlukan ikhtiar yang diawali niat, termasuk
memaknai pergantian tahun baru
Islam 1 Muharram 1431 Hijriyah.
Tak terasa kita telah memasuki tahun
baru 1431 Hijriah, tepatnya saat ini kita sudah berada di bulan Muharram.
Adapun kata muharram berasal dari kata “harrama” yang mengalami
perubahan bentuk menjadi “yuharrimu-tahriiman-muharraman-muharrimun“.
Bentukan “muharraman” berarti yang diharamkan. Apa yang diharamkan ? Perang
atau pertumpahan darah! Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an
Surat At Taubah ayat 36 :
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah sebagaimana disebut di Kitabullah ada 12 bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, dan terdapat 4 bulan di dalamnya merupakan bulan yang diharamkan”.
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah sebagaimana disebut di Kitabullah ada 12 bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, dan terdapat 4 bulan di dalamnya merupakan bulan yang diharamkan”.
Membicarakan bulan Muharram pasti tidak
akan lepas dari peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah,
yakni pada tahun 622 M. Hijrah itu sekaligus menjadi tonggak awal dimulainya
kalender Islam. Ini artinya hijrah Rasulullah SAW beserta para sahabatnya ke
Madinah telah berumur 1431 tahun. Sebuah peristiwa bersejarah yang patut
dikenang dan bisa menjadi proses transformasi spiritual.
Di dalamnya terkandung makna dan keteladanan untuk sebuah pengorbanan sejati
yang mengapresiasikan perlawanan akan kebathilan sekaligus sikap konsisten
mengedepankan kepentingan misi dari kepentingan apa pun, agar ia tetap lestari
dan terjaga dari kepunahan meski karenanya harus berdarah-darah mereka harus
meninggalkan negeri, harta, sanak dan handai taulan tercinta.
Secara harfiah hijrah artinya
berpindah. Secara istilah ia mengandung dua makna yaitu, hijrah makani
dan hijrah maknawi . Hijrah makani artinya hijrah secara fisik
berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik dari negeri
kafir menuju negeri Islam. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari
nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebathilan menuju
kebenaran, dari kekufuran menuju keIslaman. Makna terakhir oleh Ibnu Qayyim
bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah. Alasannya hijrah
fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah
tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah SAW dan para sahabatnya ke
Madinah. Secara makani jelas mereka berjalan dari Mekah ke Madinah menempuh
padang pasir sejauh kurang lbh 450 km. Secara maknawi jelas mereka hijrah
demi terjaganya misi Islam.
Al-Qahthani menyatakan bahwa
hijrah sebagai urusan yang besar. Hijrah berhubungan erat dengan al-wala’
wal-bara’, bal hiya min ahammi takaalifahaa, bahkan ia
termasuk manifestasi yang paling penting. Penting karena menyangkut ketepatan
sikap seorang muslim dalam memberikan perwalian kesetiaan dan pembelaan. Juga
menyangkut ketepatan seorang muslim dalam menampakkan penolakan dan permusuhan
kepada yang patut dimusuhi. Dalam sejarah para rasul juga dekat dengan tradisi
hijrah dan semua atas semangat penegasan batas sebuah loyalitas kesetiaan
keimanan yang berujung menuju kepada yang lebih baik atas ridha Allah SWT.
Sebut misalnya Nabi Ibrahim Khalilullah beliau telah melakukan hijrah beberapa
kali dari Babilon ke Palestina dari Palestina ke Mesir dari Mesir ke Palestina
lagi, semua demi risalah suci.
Ibrah dari dari peristiwa hijrah adalah
sebuah pengorbanan. Setelah
para sahabat keluar dari ujian berupa siksaan dan cercaan dari Kafir Quraisy di
Mekah tidak otomatis menjadikan mereka bebas dari ujian berikutnya. Yang paling
gamblang adalah cobaan meninggalkan kemapanan. Tengoklah bagaimana sahabat
meninggalkan keluarga tercinta rumah pekerjaan tanah air dan sanak kadang dan
handai taulan.
Secara lahiriyah umumnya naluri manusia
akan menyatakan ujian itu sungguh berat. Meninggalkan nilai material yang
barangkali selama ini mereka rintis dan perjuangkan. Berpindah ke suatu tempat
asing yang penuh spekulasi. Toh kecintaan para sahabat akan Islam mengalahkan
kecintaan pada semua itu. Kesucian akidah di atas segalanya. Hal ini sekaligus
menegaskan betapa maslahat “din” menempati pertimbangan tertinggi dari
maslahat-maslahat yang lain. Pelajaran lain hijrah menegaskan adanya
perseteruan abadi antara kebatilan versus kebenaran.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al
Baqarah ayat 147 yang artinya : “Kebenaran itu datang dari Rabb-mu maka
jangan sekali-kali engkau termasuk orang yang ragu-ragu”. Untuk menangkap
spirit hijrah lebih jauh rumusan sederhana Ibnu Qayyim cukup menarik
katanya dalam kata hijrah terkandung arti berpindah “dari” dan berpindah
“menuju”. Maksudnya berpindah dari yang semula tidak sesuai dengan
tuntunan Allah dan Rasul-Nya menuju kepada yang sesuai dengan tuntunan Allah
dan Rasul-Nya.
Jika rumusan global tersebut
betul-betul dihayati tiap muslim untnk selanjutnya secara konsisten diterapkan
dalam sendi-sendi kehidupan barangkali nasib umat ini secara umum akan lebih
baik dari sekarang, karena dalam dirinya terdapat potensi raksasa/kekuatan yang
luar biasa, yang apabila digali dan di manaje dengan sungguh-sungguh akan
mengantarkan kepada kehidupan kita yang jauh lebih baik, lurus, dan cerah.
Ketidak sadaran akan potensi dirinya akan berdampak kepada pengkerdilan potensi
itu sendiri. Sehingga manusia (kita) sering tidak berdaya dalam menghadap
persoalan hidup.
Bentuk ketidaksadaran akan potensi diri
ini bisa bersifat individu atau kolektif. Dalam tataran individu hal itu akan
membuat individu yang bersangkutan mengalami kelumpuhan berfikir, kelumpuhan
nurani dan kelumpuhan beraksi yang akhirnya bisa menimbulkan sifat “malas”.
Selanjutnya akan dapat menimbulkan pola pikir yang “seandainya, jikalau ,
umpama” (seandanya saya jadi orang kaya, jikalau saya seorang pejabat dll).
Sedangkan dalam skala kolektif akan menimbulkan kelumpuhan satu bangsa, satu
generasi atau satu ummat, sehingga akan melahirkan generasi yang mandul, ummat
yang rapuh dan bangsa yang stagnan. Padahal Allah sudah memberikan peringatan
dalam Al-Qur’an (QS. Ali Imran:139) :
“Dan janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi jika kamu orang-orang yang beriman”.
“Dan janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi jika kamu orang-orang yang beriman”.
Dalam menafsirkan ayat di atas Sayyid
Quthb berkata : Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah kamu bersedih
hati atas apa yang menimpamu; dan jangan pula kamu bersedih hati atas apa yang
lepas dari tanganmu, padahal kamu adalah orang-orang yang tinggi. Akidah kalian
lebih tinggi karena kalian bersujud pada Allah semata sedangkan mereka
menyembah pada salah satu makhlukNya atau sebagian dari makhluknya. Manhaj
hidup kalian lebih tinggi sebab kalian berjalan di atas manhaj Allah sedangkan
mereka berjalan di atas manhaj ciptaan makhlukNya. Peran kalian lebih tinggi
sebab kalian mendapat tugas untuk memberi petunjuk kepada manusia secara
keseluruhan yang sedang berjalan tanpa manhaj atau menyimpang dari manhaj yang
lurus. Posisi kalian di muka bumi lebih tinggi sebab kalian adalah pewaris bumi
yang Allah janjikan pada kalian, sedangkan mereka menuju pada kebinasaan dan
dilupakan. Maka jika kalian benar-benar beriman pasti kalian akan lebih tinggi,
dan janganlah kalian bersikap lemah serta bermuramdurja (Tafsir Fi Zhilal al
Quran,I/480).
Sementara itu menurut Imam Asy
Syaukani teks ayat di atas dari segi makna saling berkaitan. Artinya jika
kamu beriman maka janganlah kamu bersedih, atau jika kamu beriman maka kamulah
orang yang paling tinggi (Fath al Qadir,I/384).
Hal serupa bisa kita dapatkan dalam
teks ayat yang lain, yaitu QS. Ali Imran : 146 :
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah SWT, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah SWT, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.
Begitu pula dengan FirmanNya
QS.Muhammad : 35 :
“Maka janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu”.
“Maka janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu”.
Sering kita tidak menyadari bahwa kita
memiliki potensi untuk mengatur menjadi “imam” umat lain, menjadi imam
peradaban dan budaya. Sesungguhnya Allah membuka kesempatan bagi kita untuk
menjadi ummat terbaik di mata dunia. Kita sering lupa bahwa Allah
memberi kita potensi untuk menjadi umat pilihan, ummat penengah yang mampu
memberikan rahmat dan kesejukan pada sesama, mampu menebarkan keadilan, melindungi
hak-hak manusia dan menghargai martabat mereka. Sebagaimana Firman Nya dalam
QS.Ali Imran:110 :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah SWT”.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah SWT”.
Juga dalam QS.Al Baqarah:143 :
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi (perbuatan) manusia”.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi (perbuatan) manusia”.
Dari ayat-ayat di atas dapat kita
pahami sesungguhnya Allah SWT telah mendesain kita (umat Islam) sebagai umat
pilihan, umat yang dapat mendatangkan kesejukan, memberikan rasa nyaman,
memberikan keadilan dan menghargai martabat manusia. Namun terkadang akibat
keserakahan, ketamakan, iri dengki, hasud dsb kita jauh keluar jalur dari
desain Allah. Sehingga akibatnya tidak hanya merugikan si pelaku tapi juga
mengakibatkan kerugian kepada yang lain. Juga karena perbuatan manusia yang di
luar desain Allah mengakibatkan Agama Islam yang begitu tinggi dan mulia
menjadi ternoda, efeknya akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak senang
dengan Islam (musuh Islam) dengan menciptakan opini publik, pelabelan-pelabelan
bahwa Islam itu radikal, militan, identik dengan teroris dsb. Padahal
sesungguhnya Islam itu adalah agama pembawa kedamaian bahkan sebagai rahmatan
lil’alamiin.
Kesimpulan : Orang-orang beriman bisa
melejitkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya secara maksimal dalam bingkai
keimanan dan ketaqwaan jika mampu menyuruh manusia untuk berbuat baik,
menebarkan kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang mungkar yang merugikan
manusia lainnya. Kita akan dianggap kelompok orang yang beriman jika dalam
setiap gerak kita aksi kita selalu bertaburan kebaikan dan sepi dari
kemungkaran. Kesadaran untuk menjadi mukmin secara hakiki akan mengantarkan
kita kepada pola pikir dan aksi yang positif, mendorong kita untuk melakukan
kerja besar dan menghindarkan kita dari perbuatan/pekerjaan yang sia-sia.
Kesadaran bahwa kita mendapat asuransi bersyarat dari Allah sebagai umat
terbaik, umat pilihan, dan saksi bagi segenap manusia akan memacu, mendorong
serta menggerakkan kita untuk melakukan agenda strategis untuk mengangkat
derajat umat Islam yang sedang dirugikan oleh cara berpikir dan berperilaku
yang keliru.
Oleh karena itu kita harus mulai dari
diri kita (ibda’ binafsik) selanjutnya kesadaran individu harus bermetamorfosis
menjadi kasadaran kolektif, menjadi kesadaran umat, sehingga kita mampu
menempatkan diri pada tempat yang seharusnya. Kita harus menjadi umat yang
mulia dan bukan menjadi hina. Kita harus menjadi umat yang memimpin dan bukan
yang dipimpin. Kita harus menjadi Khairul Ummah (ummat yang terbaik) dalam
bingkai keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Umat Islam Indonesia harus
memahami makna hijrah secara makro. Hijrah bukan hanya pindah dari suatu tempat
ke tempat lainnya. Tapi makna hijrah secara luas adalah perubahan, termasuk
perubahan pola pikir dalam menempuh perjalanan hidup di dunia ini. WAllahu a’lam. Bishowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar